Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi yang parah, dengan protes kekerasan, devaluasi mata uang, dan ketegangan politik yang telah secara serius merusak kepercayaan terhadap pasar yang dulunya dianggap sebagai yang paling stabil di Asia Tenggara oleh Wall Street.
Indeks Komposit Jakarta jatuh 3,6% pada hari Senin, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus menurun. Krisis ini berasal dari ketidakpuasan masyarakat yang kuat terhadap meningkatnya biaya hidup, gaji yang tinggi dari para politisi, dan tindakan kekerasan polisi, yang menjadi tantangan paling serius yang dihadapi oleh Sugianto sejak menjabat.
Setidaknya delapan orang telah tewas dalam konflik tersebut, dengan jalan-jalan di kota-kota besar seperti Jakarta dipenuhi oleh para pengunjuk rasa. Subiantoro berjanji kepada media pada hari Minggu bahwa parlemen akan serius menangani kemarahan masyarakat, dan para anggota dewan akan dipaksa untuk memangkas tunjangan besar. Sementara itu, ia memperingatkan bahwa tindakan "tegas" akan diambil terhadap para pengunjuk rasa yang merusak ketertiban, menyebut bahwa kelompok tertentu "sedang menuju pengkhianatan dan terorisme", dan telah memerintahkan militer dan polisi untuk menangani perampokan dan tindakan kekerasan dengan keras.
Saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana krisis ini dengan cepat berkembang. Pemerintah mencoba menenangkan sentimen pasar, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia, Airlangga, mengklaim bahwa "fundamental ekonomi kuat", dan berjanji untuk mendorong ekonomi melalui paket insentif baru. Sayangnya, para investor sama sekali tidak percaya, sehingga rupiah dan pasar saham mengalami pukulan berat setelah berita protes muncul.
Bank Indonesia telah menyatakan siap untuk melakukan intervensi di pasar kapan saja, untuk mengembalikan nilai riil rupiah. Pasar obligasi juga terkena dampak, dengan imbal hasil obligasi negara 10 tahun naik menjadi 6.335%, sementara imbal hasil obligasi negara 30 tahun tetap sekitar 6.850%, mencerminkan bahwa investor menuntut premi risiko yang lebih tinggi.
Ironisnya, beberapa lembaga investasi internasional seperti BlackRock belum menarik dan malah meningkatkan kepemilikan obligasi pemerintah jangka panjang Indonesia. Ekonom DBS Bank, Radika, mengklaim prospek pertumbuhan jangka panjang negara tersebut masih baik. Namun, nada optimis ini kontras tajam dengan realitas di jalanan.
Indonesia sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, memiliki 284 juta penduduk, telah lama dianggap sebagai pasar baru yang dapat diandalkan. Namun, saat ini citra ini sedang goyang. Dengan konflik jalanan yang terus berlanjut dan janji politik yang tidak menentu, perhatian beralih kepada apakah pemerintah dapat dengan cepat mengembalikan kendali, serta apakah modal asing akan terus bertahan di pasar yang tidak stabil ini.
Bagi pemerintah Indonesia, waktu sudah tidak banyak lagi. Protes tidak akan mereda dengan sendirinya, tekanan mata uang juga tidak akan berkurang begitu saja. Dalam situasi di mana investor semakin berhati-hati dan masyarakat menuntut solusi dengan keras, Indonesia tidak bisa lagi menunda.
Krisis di Indonesia mengingatkan kita bahwa bahkan pasar baru yang dianggap stabil dapat dengan cepat terpuruk karena masalah politik dan ekonomi. Apakah badai ini bisa mereda tergantung pada bagaimana pemerintah menyeimbangkan tuntutan masyarakat dengan pemulihan kepercayaan pasar.
Lihat Asli
Halaman ini mungkin berisi konten pihak ketiga, yang disediakan untuk tujuan informasi saja (bukan pernyataan/jaminan) dan tidak boleh dianggap sebagai dukungan terhadap pandangannya oleh Gate, atau sebagai nasihat keuangan atau profesional. Lihat Penafian untuk detailnya.
Ekonomi Indonesia terjerumus dalam krisis: mata uang big dump dan gejolak sosial
Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi yang parah, dengan protes kekerasan, devaluasi mata uang, dan ketegangan politik yang telah secara serius merusak kepercayaan terhadap pasar yang dulunya dianggap sebagai yang paling stabil di Asia Tenggara oleh Wall Street.
Indeks Komposit Jakarta jatuh 3,6% pada hari Senin, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus menurun. Krisis ini berasal dari ketidakpuasan masyarakat yang kuat terhadap meningkatnya biaya hidup, gaji yang tinggi dari para politisi, dan tindakan kekerasan polisi, yang menjadi tantangan paling serius yang dihadapi oleh Sugianto sejak menjabat.
Setidaknya delapan orang telah tewas dalam konflik tersebut, dengan jalan-jalan di kota-kota besar seperti Jakarta dipenuhi oleh para pengunjuk rasa. Subiantoro berjanji kepada media pada hari Minggu bahwa parlemen akan serius menangani kemarahan masyarakat, dan para anggota dewan akan dipaksa untuk memangkas tunjangan besar. Sementara itu, ia memperingatkan bahwa tindakan "tegas" akan diambil terhadap para pengunjuk rasa yang merusak ketertiban, menyebut bahwa kelompok tertentu "sedang menuju pengkhianatan dan terorisme", dan telah memerintahkan militer dan polisi untuk menangani perampokan dan tindakan kekerasan dengan keras.
Saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana krisis ini dengan cepat berkembang. Pemerintah mencoba menenangkan sentimen pasar, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia, Airlangga, mengklaim bahwa "fundamental ekonomi kuat", dan berjanji untuk mendorong ekonomi melalui paket insentif baru. Sayangnya, para investor sama sekali tidak percaya, sehingga rupiah dan pasar saham mengalami pukulan berat setelah berita protes muncul.
Bank Indonesia telah menyatakan siap untuk melakukan intervensi di pasar kapan saja, untuk mengembalikan nilai riil rupiah. Pasar obligasi juga terkena dampak, dengan imbal hasil obligasi negara 10 tahun naik menjadi 6.335%, sementara imbal hasil obligasi negara 30 tahun tetap sekitar 6.850%, mencerminkan bahwa investor menuntut premi risiko yang lebih tinggi.
Ironisnya, beberapa lembaga investasi internasional seperti BlackRock belum menarik dan malah meningkatkan kepemilikan obligasi pemerintah jangka panjang Indonesia. Ekonom DBS Bank, Radika, mengklaim prospek pertumbuhan jangka panjang negara tersebut masih baik. Namun, nada optimis ini kontras tajam dengan realitas di jalanan.
Indonesia sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, memiliki 284 juta penduduk, telah lama dianggap sebagai pasar baru yang dapat diandalkan. Namun, saat ini citra ini sedang goyang. Dengan konflik jalanan yang terus berlanjut dan janji politik yang tidak menentu, perhatian beralih kepada apakah pemerintah dapat dengan cepat mengembalikan kendali, serta apakah modal asing akan terus bertahan di pasar yang tidak stabil ini.
Bagi pemerintah Indonesia, waktu sudah tidak banyak lagi. Protes tidak akan mereda dengan sendirinya, tekanan mata uang juga tidak akan berkurang begitu saja. Dalam situasi di mana investor semakin berhati-hati dan masyarakat menuntut solusi dengan keras, Indonesia tidak bisa lagi menunda.
Krisis di Indonesia mengingatkan kita bahwa bahkan pasar baru yang dianggap stabil dapat dengan cepat terpuruk karena masalah politik dan ekonomi. Apakah badai ini bisa mereda tergantung pada bagaimana pemerintah menyeimbangkan tuntutan masyarakat dengan pemulihan kepercayaan pasar.